Thursday, September 16, 2010

Obrolan Pagi dengan Petugas Pemadam Kebakaran

dear diary,
Pagi ini saya berangkat ke kantor agak siang. Karena yang pertama bangun kesiangan dan yang kedua harus berberes rumah karena pembantu mudik dan yang ketiga nonton serial kartun avatar seri terakhir. Alhasil berangkat ke kantor belum berdandan cuma modal parfum crot crot crot biar kelihatan kalo sudah bener-bener mandi.

Sesampainya di kantor, pengennya sih dandan dulu biar keliatan segeran dikit.Eh, belum sampe bedak nempel di muka. Ada tamu dateng.

Seorang bapak berbadan besar dan sedikit buncit. Mengenakan seragam biru tua dan celana hitam. D label nama terncantu BUDIONO dari DINAS PEMADAM KEBAKARAN KOTA SEMARANG. Rambutnya sudah sedikit beruban. Membawa rokok Dji Sam Soe yang baru saja di sulut. 

Hhmmm ada apa lagi nih, pikir saya. Pagi-pagi uda berurusan sama orang beginian. Jujur saya paling malas kalo harus bersinggungan dengan orang-orang pemerintahan. Walopun orang tua saya juga bekerja di pemerintahan bidang kesehatan. Tapi sepertinya image yang melekat pada bapak dan ibu berseragam ini sudah buruk di dalam kepala saya. Kalo bertanya kenapa? Entah lah.....

Iya pak selamat pagi, ada yang bisa saya bantu. Nama saya andhini, sebagai marketing di sini.
Kata pembuka yang standart dan perkenalan yang super standart....

Nah usut punya usut Si bapak ternyata mau menawarkan untuk cek APAR dan mengganti isi APAR. Dan orang yang dicari kebetulan hari ini libur. So...ngobrol lah kami berdua ditemani secangkir teh anget.

Seru juga ternyata ngedengerin si bapak cerita tentang suka duka jadi petugas pemadam kebakaran. Dimulai dari pekerja honorer sampai setelah 10 tahun mengabdi baru diangkat menjadi PNS. Saat ini Pak Budi sudah 13 tahun bekerja dalam suka dan duka. Bisa juga mengkuliahkan 2 orang anak perempuannya. Dan sekarang sudah punya 5 buah sepeda motor. Wuuuaaahhh hebat juga ni bapak.

Beliau juga bercerita kalo dulu sempat jadi seorang pemabuk berat. Namun bertobat karena sang anak berkata "Pak, bapak nyuruh kita supaya rajin sholat dan taat beragama. Masa bapak tiap hari pulang mabok berat."

Dan pesan yang paling yahud dari Pak Budi adalah kalo terjadi kebakaran JANGAN NELPON PAKE HAPE, sebisa mungkin pake nomer telpon rumah/wartel/telpon umum. 

Hhhhmmmm sepertinya pagi ini dimulai dengan indah.
Bisa bercerita dan berbagi dengan Pak Budi.

Semoga bisa jadi pelajaran berharga buat kita semua.

Peace,
Andhini Simeon
andhini.simeon@gmail.com


Wednesday, September 15, 2010

"He"



"HE"
By: Richard Mullen 

He can turn the tides and calm the angry sea.
He alone decides who writes a symphony.
He lights ev'ry star That makes our darkness bright.
He keeps watch all through Each long and lonely night.
He still finds the time To hear a child's first prayer.
Saint or sinner call And always find Him there.


Though it makes him sad

To see the way we live,
He'll always say, "I forgive."


He can grant a wish Or make a dream come true.

He can paint the clouds And turn the gray to blue.
He alone knows where To find the rainbow's end.
He alone can see What lies beyond the bend.
He can touch a tree And turn the leaves to gold.
He knows every lie That you and I have told.

Though it makes him sad
To see the way we live,
He'll always say, "I forgive."  

Mengenang ketika awal kuliah ato masih SMA ya?? Ketika Lomba Panduan Suara Grejawi Se-Klasis Semarang Barat tepatnya di GKJ Semarang Barat.

Kalo nyanyiin lagu ini dan meresapinya, bisa bikin merinding dan nangis. Nangis karena pesan yang ingin di sampaikan dalam liriknya. Membuat kita tersadar kalau Tuhan yang sangat Besar, sangat Suci, sangat Segala-galanya. Mengawasi, mengamati, dan memperhatikan segala tingkah laku bahkan dosa kita. 

Yang paling memilukan Sang Maha pencipta, yang tahu dimana goresan Pelangi berakhir. Tanpa harus kita minta pengampunan. Tuhan lebih dulu mengampuni kita yang berdosa.

Haduuuhhhh jadi merinding beneran......
Ya ampun Tuhan......
Maafin anak-Mu ini :'(
Saat Teduh masih bolong-bolong
Berdoa tidak segenap hati
Mengasihi diri sendiri saja belum bisa
Apalagi mengasihi sesama seperti diri sendiri.



Peace,
Andhini Simeon
andhini.simeon@gmail.com

Monday, September 13, 2010

What should I do??

Bingung....

Cuaca mulai tak bersahabat?
Kadang panas terik lalu tiba-tiba hujan badai.

Jalan-jalan masih tampak lengang....
hanya satu atau dua mobil lalu lalang

Sekarang aku bingung
Tak tau harus berbuat apa

Memandang jalanan yang lengang
Sambil bertopang dagu

What should I do???


Saturday, September 11, 2010

Pemakaman Bergota dan Kehidupan di Dalamnya

Pemakaman Bergota dan Kehidupan di Dalamnya
Semarang, 26 Maret 2010
By.Andhini Simeon
andhini.simeon@gmail.com


Bila mendengar kata pemakaman atau kuburan, yang terlintas pastilah tempat yang sepi, angker, menyeramkan, bahkan mistis. Di tambah lagi beberapa mitos bahkan film membuat gambaran pemakaman semakin menyeramkan.


Namun apakah di zaman millennium ini pemakaman masih terkesan mistis?

Di kota Semarang, ada sebuah pemakaman umum bernama Bergota. Bergota adalah dataran tinggi yang berada di tengah kota. Pada zaman kerajaan Mataram kuno abad 8-15M bukit ini Bergota/Plagota/Pergota adalah salah satu bukit asal muasal kota Semarang yaitu Pulau Tirang.


Pada masa ini bukit ini telah berubah menjadi pemakaman umum terbesar di kota ini. Bahkan saking penuhnya saat ini dibuka lahan pemakaman umum Bergota Baru yang terletak di perbukitan Semarang bagian barat.


Letak Bergota berhimpitan dengan Rumah Sakit Umum Dr. Kariadi, Sekolah SD dan SMP Pangudi Luhur, Pasar Bunga dan jalan raya. Di sekitarnya juga terdapat pemukiman warga. Saat ini jumlahnya semakin bertambah seiring pertumbuhan jumlah penduduk yang beranak pinang dan karena himpitan ekonomi akhirnya menetap di sekitar Bergota. Karena lokasinya berada sekitar public area membuat Bergota tidak terkesan sepi bahkan mistis. Belum lagi di tengah pemakaman terdapat jalan yang cukup lebar untuk lalu lalang kendaraan bermotor.


Jika berkunjung Bergota pada siang hari banyak aktivitas yang terjadi di dalam area pemakaman ini. Banyak kendaraan bermotor berlalu-lalang. Bahkan di satu lokasi gedung milik fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro yang terletak di area ini akan terlihat mobil berjajar. Terlihat pula beberapa orang yang datang dengan membawa keranjang bunga untuk mengenang dan menghormati sanak saudara yang di makamkan di tempat ini. Di tengah pemakaman ada juga orang berjualan gerobak atau dengan menggunakan lapak. Pada jam pulang sekolah tampak anak-anak berbaju seragam berjalan menyusuri pemakaman ini dengan canda dan tawa. Ada pula penduduk yang bercengkrama di tengah pemakaman di bawah pohon rindang. Yang paling mengherankan adalah melihat seorang bapak dan anak yang buang air di sekitar pemakaman.


Berbeda dengan siang hari, pada sore hingga malam hari keadaan lebih lengang. Masih ada lalu lalang kendaraan bermotor yang sebagian besar adalah penduduk yang bermukim di sekitar area pemakaman. Masih juga terlihat bapak-bapak yang bercengkrama di ujung gang-gang kecil sekitar pemukiman. Neon-neon terlihat menerangi sebagai pembatas antara pemakaman dan pemukiman.


Pemakaman juga dijadikan sebagai tempat untuk mencari nafkah. Mulai dari juru kunci, penjaga makam, tukang bersih-bersih makam, tukang parkir, tukang gali makam, pedagang sampai pengemis. Hampir setiap hari roda perekonomian juga bergerak di tempat peristirahatan terakhir ini.


Tidak seperti layaknya pemakaman. Bergota adalah tempat berkumpul, tempat pertukaran barang dan jasa, bahkan tempat buang hajat. Pemakaman menjadi bagian hidup masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Kesan angker semakin terkikis dengan adanya masyarakat yang terhimpit hingga menjadikan pemakaman sebagai tempat untuk bersosialisasi.

Wangsit di siang bolong

Kamis 18 Februari 2010
Jam 12.05 di gedung Thomas Aquinas

Siang ini saya bengong di kantin kampus sembari menunggu adik saya yang sedang diskusi di perpustakaan. “Krucuk-krucuk……” si perut yang sedari pagi belum mendapat jatah makan mulai berteriak. Ya sudah lah saya makan siang. Selesai makan, nona yang ditunggu masih belum tampak. Huh sepertinya bakal lama.

Satu hal yang paling saya suka dari kantin ini. Anginnya yang kencang berhembus membuat orang yang kenyang makan jadi ngantuk. Masih menikmati angin yang berhembus sambil memandang gunung ungaran yang tertutup awan dan si perut yang sudah kenyang.

Tiba-tiba datanglah satu wangsit……

“Eh, seru juga ya kalo bikin pembangkit listrik tenaga angin…..”

Weittsss….kok tiba-tiba ada pemikiran yang ajaib bin aneh. Mungkin karena habis makan, efeknya membuat saya sedikit lebih pintar dan kritis.

Kalo di pikir-pikir….sebentar lagi tarif PLN pasti naik, harga-harga hasil industri juga pasti ikutan naik. Ditambah lagi kata orang-orang yang pinter-pinter itu cadangan listrik kita masih sangat minim dan belum mencukupi kebutuhan listrik yang semakin meningkat. Ujung-ujunganya pemerintah akan membangun PLTN di pulau yang padat penduduk alias pulau jawa.

Haaadddooooohhhh…….

Kalo seandainya bisa bikin PLT ANGIN kan lumayan. Ini juga terinspirasi setelah nonton acara di Metro TV tentang energi terbarukan. Terinspirasi juga dengan penemuan Pembangkit Listrik Tenaga Air sederhana yang di tayangkan di TvOne. Terinspirasi lagi ketika saya study abroad di Taiwan. Dan ternyata negara tersebut sudah mulai menggunakan energi angin untuk mencukupi kebutuhan listrik.

Pemberdayaan energi alternatif ini saya kira cukup menjanjikan jika bisa dikembangkan. Yang jelas bisa memenuhi kebutuhan listrik paling tidak untuk di pemukiman sekitar. Dengan demikian biaya pembayaran PLN bisa lebih murah. Kalo memang bisa menghasilkan listrik lebih bisa di bagi buat para tetangga. Sukur-sukur bisa untuk menjadi bisnis. Di lain sisi energi angin jauh lebih ramah lingkungan dan tidak berbahaya. Yaaa…mungkin 3-5 generasi di bawah kita masih bisa menikmati fungsi energi ini.

Angin toh tidak akan musnah selama bumi masih ada, langit masih biru, awan masih putih, matahari masih bersinar, masih ada laut, dan masih ada daratan. Bikin saja baling-baling di sepanjang daerah persawahan, di tepi pantai, atau di daerah yang cukup lapang dan tempat-tempat yang banyak angin berhembus.
Tapi itu kan baru ide dan impian….
Sekarang bagaimana cara mewujudkannya ya???
-Saya gak mudeng dunia per elektroan, apa lagi bikin pembangkit listrik….
-Saya gak punya modal untuk perlengkapan atau ongkos buat bikinnya….
-Kira-kira ada gak ya yang tertarik untuk mewujudkan impian ini bersama saya…..

Hehehehehehe yah namanya juga ide…
Toh sebagai volunteer di sebuah NGO yang menolak PLTN.
Saya pikir membuat aksi protes terhadap pemerintah is OK tapi lebih OK lagi kalo sebagai generasi penerus bangsa yang sebagian masih menganggur dan gak punya pekerjaan tetap. Mencoba membuat sesuatu yang beda gak ada salahnya to…
Siapa tau dari iseng-iseng ini bisa terwujud.

Salam Hijau…
Andhini Simeon

DALANG

DALANG

Sejak bulan lalu saya mendapat satu kehormatan dari fakultas untuk menjadi salah satu partisipan pagelaran akbar dalam rangka memperingati Dies Natalis Fakultas Sastra UNIKA Soegijapranata Semarang. Fakultas menyelenggarakan sebuah pagelaran Wayang Kulit 5 Bahasa yaitu Jawa, Indonesia, China, Belanda dan Inggris. Dalam pagelaran tersebut saya menjadi salah satu pengisi suara untuk tokoh RAMA dengan menggunakan bahasa China.

Pengalaman yang sangat mengesankan dan menarik bagi saya. Lahir dan dibesarkan dalam budaya jawa namun tidak mengenal akar budaya. Itulah yang saat ini saya rasakan ketika ikut turu dalam pagelaran ini. Saya besar dan tumbuh di keluarga Jawa di sebuah kota besar di Jawa tengah (Semarang) dan bergereja di Gereja Kristen Jawa. Sejak kecil saya dikenalkan dengan berbagai macam kesenian jawa. Pada umur 7th saya kursus tari Jawa. Pada kelas 3-5 SD saya ikut pelajaran karawitan di Sekolah. Di gereja beberapa kali sampai saat ini kadang masih mengikuti ibadah dalam bahasa jawa. Pernah juga nenek saya mengajak saya untuk nonton pagelaran wayang wong di ngesti pandawa. Walaupun saya tidak mengikuti pagelaran tersebut sampai selesai karena terlelap di tengah pertunjukan. Dari SD-SMP saya menerima pelajaran Basa Jawa. Di rumah pun tetap belajar unggah ungguh dan tata karma jawa. Bagaimana bersikap, berperilaku, dan berbahasa terhadap sesepuh, tiyang sepuh, kanca, sederek, dan batur. Semua ada aturannya dalam budaya jawa.

Namun yang saya rasakan saat ini semua yang saya dapatkan hanya tersisa mungkin hanya 5-10% saja sisanya entah hilang atau tertindih dengan lingkungan atau budaya modern yang saat ini kita semua alami. Bahkan dalam pagelaran ini saya menjadi pengisi suara dalam bahasa China dan bukan bahasa jawa. Seberapakah dari anda masih benar-benar ingat dengan lagu-lagu jawa, dengan tata krama dan unggah ungguh atau dengan bahasa krama inggil ketika kita berbicara kepada orang yang lebih tua dari anda. Sungguh ironis memang. Ketika seorang Indonesia adalah seorang dikenal dengan budayanya. Namun banyak orang tidak mengenal budaya dan akar budayanya di jaman modern ini. Karena mungkin banyak orang termasuk saya menganggap hal yang berhubungan dengan budaya kuno itu kalo kata anak jaman sekarang so last year (ketinggalan jaman) dan membosankan.

Ketika saya ikut serta ambil bagian dalam persiapan pagelaran akbar ini. Sejenak saya teringat akan masa kecil saya. Belajar karawitan, nembang jawa, nonton wayang, dan mengenal karakter dan cerita pewayangan. Sungguh menyenangkan dan sangat menarik. Dari semua yang terlibat dalam pagelaran tersebut. Saya tertarik dengan orang yang berperan penting memainkan karakter dalam wayang, yaitu dalang.

Dalang adalah orang yang bertugas memberi kehidupan dalam setiap tokoh pada pertunjukan wayang. Ia harus tau betul setiap gerakan dan gesture tubuh para tokohnya. Setiap gerakan yang ia buat akan memberikan citra dan cerita. Setiap tokoh memiliki bentuk, karakter dan pribadi yang berbeda. Bisa dibayangkan dalam satu pagelaran akan ada lebih dari 10 tokoh yang digunakan. Maka sang dalang juga harus menghidupkan lebih dari 10 tokoh masing-masing memiliki karakter, pribadi, gesture, dan gerakan yang berbeda. Artinya dalang harus memahami dan menjalankan 10 karakter, 10 pribadi, 10 gesture, dan 10 gerakan yang berbeda. Dalam satu pertunjukan ia menjadi 10 orang yang berbeda hanya melalui gerakan agar penonton menjadi paham dan mengerti pesan yang disampaikan dalam cerita tersebut. Seorang dalang yang baik ia akan membuat penontonnya betah untuk nonton dan memahami cerita yang disampaikan sampai akhir cerita.

Dalang adalah orang yang memiliki dua sudut pandang. Dalam pementasan wayang ada 2 sisi dari geber (layar) yaitu geber dari dalang dan geber dari sisi penonton. Seperti jika nonton layar tancep jaman dulu kala. Antara penonton di sisi depan dan belakang akan mendapat cerita yang sama tapi dari sisi yang berbeda. Jika yang depan melihat sang lakon mengangkat tangan kanan maka dari sisi yang sebaliknya akan melihat sang lakon mengangka tangan kiri. Seperti yang saya ceritakan sebelumnya ada 2 sisi geber yaitu dari dalang dan sisi penonton. Nah, dalang juga harus membuat penontonnya memahami cerita dari sisi penonton, bukan hanya dari sisinya saja.

Betapa dalang dituntut untuk suatu tugas yang berat. Duduk bersila berjam-jam. Tidak hanya bercerita namun juga harus memainkan banyak karakter dalam waktu yang bersamaan. Menjadi lakon yang baik ataupun menjadi reksasa yang jahat di scene yang sama. Dan harus memahami sudut pandang sebagai pendongeng, pemain, dan penonton dalam waktu yang bersamaan.

Kadang sebagai individu kita hanya memandang sebuah perkara, permasalahan dan hidup hanya dari satu sudut padang, satu cara, dan satu waktu. Jika di dunia ini ada berjuta-juta umat manusia. Artinya ada lebih dari berjuta-juta sudut pandang dan cara yang berbeda. Dalam lingkup yang kecil di lingkungan rumah kita ada bapak, ibu dan anak. Setiap orang punya sudut pandang, cara yang berbeda dalam memandang sebuah perkara, permasalahan dan hidup. Mungkin orang tua ingin yang terbaik bagi anak tapi kadang anak tidak memahami bagaimana cara pandang orang tua. Mungkin suami ingin memahami istri namun bukan dari sudut pandang seorang wanita. Mungkin anak ingin membuat orangtua bangga namun cara dan waktunya tidak tepat bagi orangtua. Mungkin kakak ingin melindungi adiknya namun adik menganggap sang kakak terlalu protective. Itulah yang membuat kadang kita berselisih paham dengan orang lain.

Dari seorang dalang kita bisa belajar bahwa satu perkara, satu permasalahan dan satu kehidupan memiliki banyak sudut pandang. Mampukah kita untuk berada di sisi orang lain ketika satu perkara, satu permasalahan terjadi dalam hidup kita. Mampukah kita memahami orang lain? Alangkah indahnya ketika semua orang dapat memahami dan menerima orang lain.

Dalang adalah sesosok panutan dari budaya jawa. Ia harus menahan diri untuk berdalang dalam waktu yang lama. Ia tidak hanya memainkan peranan bagi dirinya sendiri tapi juga bagaimana ia memahami orang lain agar tercipta suatu pertunjukan yang indah.
Mari kita membuat pertunjukan yang indah dalam hidup bagi sesama.


Tuhan memberkati kita semua.

Semarang 6 Juni 2009
Andhini Simeon

Tuesday, September 7, 2010

World outside Your World


Hari ini saya dan sahabat terbaik saya mencoba untuk jalan-jalan. Tema kami hari Sabtu ini adalah Refresh Our Mind. Setelah 5 hari bekerja lebih dari 12 jam tiap harinya. Kami meluangkan waktu untuk melepas kepenatan dengan melakukan perjalanan ke kota kecil yang letaknya sekitar 2 jam perjalanan ke arah selatan. Yup, that’s right Salatiga is our destination. Actually it is simple journey. Murah meriah, menyenangkan dan melelahkan.
Ongkos yang dikeluarkan per orang adalah Rp 12,000 untuk ongkos bis Semarang-Salatiga PP, Rp 12,000 untuk makan Bakso, minum, kerupuk, dan Rp 3,000 untuk se mangkuk wedang ronde. Total keseluruhannya adalah Rp 27,000/orang. Lebih murah bila dibanding jika kami nonton bioskop dan makan di mall. Lebih mahal value yang kami terima dan kami rasakan dibanding jika hanya jalan-jalan di mall dan nonton film.
Kenapa memilih Bis untuk menuju ke kota tersebut daripada mengendarai motor. Awalnya mungkin karena malas dan lelah, walaupun mungkin secara keuangan lebih murah. Namun, ketika saya duduk di atas Bis umum ¾ tanpa AC. Di dalamnya bercampur bau asap knalpot, keringat, rokok, sayur mayur dan barang belanjaan lainnya. Saya mempelajari 3 hal.
Yang pertama adalah membuka diri untuk kehidupan “lain” di sekitar kita. Saat ini dunia terasa sangat sempit dengan Blackberry, I-phone, dsb . Dan karena teknologi yang satu ini, dunia serasa ada dalam satu kotak kecil dengan multifungsi. Karena itulah kadang kita lupa dengan dunia yang ukurannya sangat besar, sangat luas, dan dihuni oleh manusia yang jumlahnya akan semakin bertambah.
Dalam bis umum ini saya melihat kehidupan yang telah cukup lama tidak saya alami. Kalo kata para cendekiawan di sebut dengan kehidupan “wong cilik”. Dalam kasta hindu bisa di kelompokan dalam kasta “sudra”. Mereka yang bekerja sangat keras hanya untuk cukup makan satu hari.
Ternyata di luar kehidupan saya yang serba berkecukupan, banyak orang yang harus berusaha lebih keras hanya untuk mencukupi kebutuhan pokok mereka. Belum lagi mencukupi kebutuhan keluarga. Dan dari merekalah roda ekonomi mulai di putar sebagai dasar dari perekonomian yang lebih besar lagi.
Saya yang mungkin selama ini terlena dengan kehidupan rutinitas, fasilitas, dan komunitas yang serba nyaman dan aman, merasa diingatkan. Ada ribuan bahkan jutaan kehidupan kehidupan yang jauh dari layak. Hanya untuk mendapatkan Rp 10,000/hari mereka mengeluarkan peluh 5 kali lipat dari yang saya lakukan. Dan orang-orang ini kadang dikucilkan oleh sesama manusia yang secara ekonomi, pendidikan, dan status social lebih tinggi derajatnya.
Masyarakat “ningrat” tidak menyadari kalo “wong ciliklah” yang telah berjasa bagi kehidupan. Yang memintal kapas menjadi benang. Yang menenun benang menjadi kain. Yang menjahit kain menjadi pakaian mahal terkenal dan ternama adalah hasil dari jerih payah buruh pabrik textile yang saya jumpai di dalam bis. 
Yang kedua adalah pelajaran “tepa selira”, semoga saya tidak salah menulis. Dari sebagian anda yang membaca tulisan saya ini, masih ingatkah dengan pelajaran dan budaya “tepa selira”.
Jika naik kendaraan umum, sering kita berjumpa dengan banyak orang yang tidak kita kenal. Namun mungkin mereka memiliki satu tujuan yaitu menuju ke suatu tempat yang berbeda dengan satu alat transportasi yang sama. Tempat duduk yang disediakan di dalam bis pun terbatas, dan tak pelak pula duduk berdempetan dan berdesakan satu dengan yang lain. Bila berkendara dengan angkutan umum dan tidak memiliki jiwa tenggang rasa dan menghargai orang lain. Orang lain akan memandang aneh dan secara tidak langsung ada sebuah hukum sosial yang jauh lebih kejam dibandingkan hukum pengadilan yang mungkin bisa saja di manipulasi dengan uang.
Hukum sosial ini bisa berupa pengucilan dalam kelompok masyarakat, atau bahkan pengadilan masal hingga berujung pada penganiayaan.
Tanpa adanya hal yang sederhana yaitu “tepa selira” di manapun kita berada terlebih di tengah masyarakat yang bersinggungan satu dengan yang lain secara langsung. Maka, masyarakat tidak akan menerima kita sebagai bagian di dalamnya.
Poin yang ketiga dan yang terakhir adalah melakukan dan merasakan. Pendaki gunung tidak akan di sebut dengan pendaki jika ia naik helikopter dan seketika itu mencapai puncak. Ia harus melakukan dan merasakan sebuah usaha untuk mencapai sebuah hasil. Tidak ada hasil memuaskan tanpa sebuah usaha. Proses adalah tahap terpenting untuk mencapai sebuah hasil. Di dalam proses tidak harus melalui satu jalan yang lurus dan mulus. Kadang kala harus salah jalan dan berputar kembali dari awal. Kadang kala harus menempuh jalan yang berbatu tajam. Dan dari sanalah kita belajar dan lebih menghargai hasil akhir sebuah perjuangan.
Bepergian dengan kendaraan pribadi pastinya berbeda dengan menggunakan kendaraan umum. Dan itu juga yang saya rasakan. Ketika duduk di bangku paling belakang bis umum. Saya bisa melakukan sebuah perjalanan baru dan merasakan pengalaman menyatu dengan kehidupan masyarakat. Ketika duduk dan memandang jalan dan keadaan sekitar saya belajar untuk diam, tenang, dan mengamati sekeliling saya. Mengamati orang-orang yang naik dan turun. Mengamati orang-orang yang lalu lalang mengendarai kendaraan. Mengamati bukit-bukit yang mulai padat oleh pemukiman. Merasakan kantuk dan panasnya suhu udara yang amat sangat. Belajar untuk sabar dan menerima kondisi yang ada. Belajar menempatkan diri seperti kebanyakan orang yang ada didalam bis. Harus juga merasa miris dan takut ketika bis yang saya tumpangi melaju dengan kecapat tinggi yang memacu adrenalin.
Sejenak saya berbikir,
Jika saya tidak pernah mengalami pengalaman ini. Mungkin saya tidak akan pernah belajar melakukan dan merasakan. Melakukan sesuatu yang berbeda dari sudut pandang yang berbeda.

Semoga perjalanan ini menjadi sebuah pelajaran bagi saya untuk lebih menghargai hidup dan belajar untuk hidup.


Salam,
Andhini Simeon