Tuesday, September 7, 2010

World outside Your World


Hari ini saya dan sahabat terbaik saya mencoba untuk jalan-jalan. Tema kami hari Sabtu ini adalah Refresh Our Mind. Setelah 5 hari bekerja lebih dari 12 jam tiap harinya. Kami meluangkan waktu untuk melepas kepenatan dengan melakukan perjalanan ke kota kecil yang letaknya sekitar 2 jam perjalanan ke arah selatan. Yup, that’s right Salatiga is our destination. Actually it is simple journey. Murah meriah, menyenangkan dan melelahkan.
Ongkos yang dikeluarkan per orang adalah Rp 12,000 untuk ongkos bis Semarang-Salatiga PP, Rp 12,000 untuk makan Bakso, minum, kerupuk, dan Rp 3,000 untuk se mangkuk wedang ronde. Total keseluruhannya adalah Rp 27,000/orang. Lebih murah bila dibanding jika kami nonton bioskop dan makan di mall. Lebih mahal value yang kami terima dan kami rasakan dibanding jika hanya jalan-jalan di mall dan nonton film.
Kenapa memilih Bis untuk menuju ke kota tersebut daripada mengendarai motor. Awalnya mungkin karena malas dan lelah, walaupun mungkin secara keuangan lebih murah. Namun, ketika saya duduk di atas Bis umum ¾ tanpa AC. Di dalamnya bercampur bau asap knalpot, keringat, rokok, sayur mayur dan barang belanjaan lainnya. Saya mempelajari 3 hal.
Yang pertama adalah membuka diri untuk kehidupan “lain” di sekitar kita. Saat ini dunia terasa sangat sempit dengan Blackberry, I-phone, dsb . Dan karena teknologi yang satu ini, dunia serasa ada dalam satu kotak kecil dengan multifungsi. Karena itulah kadang kita lupa dengan dunia yang ukurannya sangat besar, sangat luas, dan dihuni oleh manusia yang jumlahnya akan semakin bertambah.
Dalam bis umum ini saya melihat kehidupan yang telah cukup lama tidak saya alami. Kalo kata para cendekiawan di sebut dengan kehidupan “wong cilik”. Dalam kasta hindu bisa di kelompokan dalam kasta “sudra”. Mereka yang bekerja sangat keras hanya untuk cukup makan satu hari.
Ternyata di luar kehidupan saya yang serba berkecukupan, banyak orang yang harus berusaha lebih keras hanya untuk mencukupi kebutuhan pokok mereka. Belum lagi mencukupi kebutuhan keluarga. Dan dari merekalah roda ekonomi mulai di putar sebagai dasar dari perekonomian yang lebih besar lagi.
Saya yang mungkin selama ini terlena dengan kehidupan rutinitas, fasilitas, dan komunitas yang serba nyaman dan aman, merasa diingatkan. Ada ribuan bahkan jutaan kehidupan kehidupan yang jauh dari layak. Hanya untuk mendapatkan Rp 10,000/hari mereka mengeluarkan peluh 5 kali lipat dari yang saya lakukan. Dan orang-orang ini kadang dikucilkan oleh sesama manusia yang secara ekonomi, pendidikan, dan status social lebih tinggi derajatnya.
Masyarakat “ningrat” tidak menyadari kalo “wong ciliklah” yang telah berjasa bagi kehidupan. Yang memintal kapas menjadi benang. Yang menenun benang menjadi kain. Yang menjahit kain menjadi pakaian mahal terkenal dan ternama adalah hasil dari jerih payah buruh pabrik textile yang saya jumpai di dalam bis. 
Yang kedua adalah pelajaran “tepa selira”, semoga saya tidak salah menulis. Dari sebagian anda yang membaca tulisan saya ini, masih ingatkah dengan pelajaran dan budaya “tepa selira”.
Jika naik kendaraan umum, sering kita berjumpa dengan banyak orang yang tidak kita kenal. Namun mungkin mereka memiliki satu tujuan yaitu menuju ke suatu tempat yang berbeda dengan satu alat transportasi yang sama. Tempat duduk yang disediakan di dalam bis pun terbatas, dan tak pelak pula duduk berdempetan dan berdesakan satu dengan yang lain. Bila berkendara dengan angkutan umum dan tidak memiliki jiwa tenggang rasa dan menghargai orang lain. Orang lain akan memandang aneh dan secara tidak langsung ada sebuah hukum sosial yang jauh lebih kejam dibandingkan hukum pengadilan yang mungkin bisa saja di manipulasi dengan uang.
Hukum sosial ini bisa berupa pengucilan dalam kelompok masyarakat, atau bahkan pengadilan masal hingga berujung pada penganiayaan.
Tanpa adanya hal yang sederhana yaitu “tepa selira” di manapun kita berada terlebih di tengah masyarakat yang bersinggungan satu dengan yang lain secara langsung. Maka, masyarakat tidak akan menerima kita sebagai bagian di dalamnya.
Poin yang ketiga dan yang terakhir adalah melakukan dan merasakan. Pendaki gunung tidak akan di sebut dengan pendaki jika ia naik helikopter dan seketika itu mencapai puncak. Ia harus melakukan dan merasakan sebuah usaha untuk mencapai sebuah hasil. Tidak ada hasil memuaskan tanpa sebuah usaha. Proses adalah tahap terpenting untuk mencapai sebuah hasil. Di dalam proses tidak harus melalui satu jalan yang lurus dan mulus. Kadang kala harus salah jalan dan berputar kembali dari awal. Kadang kala harus menempuh jalan yang berbatu tajam. Dan dari sanalah kita belajar dan lebih menghargai hasil akhir sebuah perjuangan.
Bepergian dengan kendaraan pribadi pastinya berbeda dengan menggunakan kendaraan umum. Dan itu juga yang saya rasakan. Ketika duduk di bangku paling belakang bis umum. Saya bisa melakukan sebuah perjalanan baru dan merasakan pengalaman menyatu dengan kehidupan masyarakat. Ketika duduk dan memandang jalan dan keadaan sekitar saya belajar untuk diam, tenang, dan mengamati sekeliling saya. Mengamati orang-orang yang naik dan turun. Mengamati orang-orang yang lalu lalang mengendarai kendaraan. Mengamati bukit-bukit yang mulai padat oleh pemukiman. Merasakan kantuk dan panasnya suhu udara yang amat sangat. Belajar untuk sabar dan menerima kondisi yang ada. Belajar menempatkan diri seperti kebanyakan orang yang ada didalam bis. Harus juga merasa miris dan takut ketika bis yang saya tumpangi melaju dengan kecapat tinggi yang memacu adrenalin.
Sejenak saya berbikir,
Jika saya tidak pernah mengalami pengalaman ini. Mungkin saya tidak akan pernah belajar melakukan dan merasakan. Melakukan sesuatu yang berbeda dari sudut pandang yang berbeda.

Semoga perjalanan ini menjadi sebuah pelajaran bagi saya untuk lebih menghargai hidup dan belajar untuk hidup.


Salam,
Andhini Simeon

1 comment:

Unknown said...

belajar tepo seliro yah... sippp