Monday, November 15, 2010

Bersukur dalam Duka

Cerita ini cukup memilukan bagi saya dan mungkin beberapa sahabat.

Dimulai dari awal pertemanan kami ketika duduk di bangku Sekolah Minggu Anak, Sekolah Minggu Remaja, hingga akhirnya kami bersama-sama memulai pelayanan kami di komisi Pemuda. Suka, duka, canda, tangis, selalu ada di tengah-tengah kami. Latihan Band, latihan Paduan Suara, Mengajar Sekolah Minggu, hampir tiap hari kami bersama-sama.

Dari semua pemuda terbentuk pula sebuah grup Band Pengiring Kebaktian Sore, salah satunya adalah GRUP C yang beranggotakan John, Antok, Demas, Titus, dan saya. Mungkin sampai saat ini, inilah kelompok yang tidak pernah gonta-ganti personil sejak pertama kali dibentuk.Kami berlima, bisa dibilang "dekat" karena usia kami yang tidak terpaut jauh, jarak rumah kami pun bisa dibilang satu wilayah di daerah Semarang Barat.


KEPERGIAN SANG ADIK
Jumat, 26 Mei 2006 
Hari minggu adalah hari untuk Grup C bertugas di kebaktian sore. Seperti hari-hari sebelumnya kami selalu berlatih dari hari Jumat. Pukul 5 sore John, Antok, Tittus, dan kedua adik saya Naya dan Rani sudah berkumpul di Greja. Sampai kira-kira setengah tujuh malam Demas belum juga datang. Sampai akhirnya kami mendapat kabar kalau Demas meninggal dalam perjalanan menuju ke gereja untuk latihan bersama kami.Demas meninggal karena kecelakaan tunggal.

Di hari Minggu itu pun kami Grup C tetap mengiringi dengan duka, kehilangan, dan kerinduan kami kepada seorang sahabat, seorang teman, dan seorang adik. Masih saya ingat betul, tiap tetesan air mata hampir sepanjang kebaktian kami rasakan.

Terkejut rasanya, seperti tidak percaya. Kami kehilangan seorang adik, seorang sahabat, dan seorang gitaris. Sampai saat ini pun setelah sekitar 4 tahun berlalu GRUP C tetap beranggotakan 4 orang, tanpa pengganti Demas. Karena kami tahu Demas tidak pernah tergantikan bagi kami. Walau pun kami mencoba untuk mencari gitaris pengganti. Sepertinya Tuhan belum memberikan gitaris bagi kami. Dan kini Grup C hanya tinggal 3 orang, karena John harus merantau ke Jakarta.

Demas adalah anak ke dua dari dua bersaudara. Putra dari Bapak & Ibu Sentot dan adik dari Mba Ratna Kartika Sari (Mba Nana). Bagi kami, keluarga ini sudah seperti keluarga kami. Bapak & Ibu Sentot dan juga mba Nana sudah seperti orang tua kami. Mereka adalah bagian dari hidup kami dalam bergereja.

Kesedihan yang dirasakan oleh keluarga mereka atas kepergian Adek (begitu kami menyebutnya) juga merupakan duka yang mendalam bagi kami. Bagi saya pribadi, kepergian Demas sampai saat ini pun masih meninggalkan goresan. Bahkan setiap Grup C berlatih untuk pelayanan saya masih merasakan Demas ada ditengah-tengah kami.


KEPERGIAN MBA NANA
Tanggal 21 Oktober 2010
kembali kami meneteskan air mata.
Mba Nana pulang ke Rumah Tuhan meninggalkan kami dengan senyuman.Mba Nana mengalami kecelakaan ketika perjalanan menuju ke gereja, kecelakaan tunggal. Sama seperti si Adek. Mba Na jatuh di sekitar lokasi yang sama.

Dua hari sebelum tanggal 21 Okt, tepatnya hari Selasa. Kami Tim Paduan Suara GKJ Karangayu sedang berlatih mempersiapkan Pesparawi Klasis. Latihan berakhir pukul 21.00, namun kami masih duduk-duduk di gereja untuk membicarakan tentang kostum. Sampai pukul 21.30 saya pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah, saya membuka PC dan update status Facebook. Betapa terkejutnya saya ketika mba Tyas menulis berita bahwa Mba Nana kecelakaan dan tidak sadarkan diri di RS Panti Wilasa Citarum. Seketika itu juga pecahlah tangis dan air mata saya. Saya mengajak ibu dan adik-adik saya berdoa. Berdoa untuk mba Nana.

Esoknya hari Rabu, saya memutuskan untuk menunggu Mba Nana di Rumah Sakit dari Pagi sampai sore. Sesampai saya di rumah sakit, saya sempat masuk melihat kondisi Mba Nana di ICU. Ia tampak cantik, tanpa beban, seperti sedang tidur. Dari mulutnya dipasang ventilator untuk membantunya supaya tetap bernafas. Di sampingnya ada juga Mas Luluk yang memegang erat tangan kekasihnya yang terlelap. Air mata penyesalan yang tak kunjung henti menetes. Sesekali Mas Luluk, mencium tangan mba Nana dengan air mata yang berlinang. 

Kamis pagi, kira-kira pukul 8.00 saya kembali ke ICU karena mendapat kabar Mba Nana meninggal. Sampai di ruang ICU Pak Sentot, Pak Pdt Natanael, Eyang Uti, Bulek Nining, dan saya (mungkin masih ada orang lain juga) bersama dengan suster. Kami melihat alat-alat bantu di tubuh Mba Nana di lepas. Setelah semua alat di lepas, saya meminta ijin untuk bisa memeluk mba Nana. Pelukan terakhir untuk seorang kakak, seorang patner guru sekolah minggu, seorang sopran yang hebat, seorang motivator, seorang yang sangat lekat.

Rasanya saya seperti kembali ke masa ketika Demas meninggal. Sejenak, saya bertanya kepada Tuhan "Kenapa Kau Ijinkan semua ini terjadi?"


KELUARGA YANG MENJADI TELADAN
Bapak dan ibu Sentot,
bagi saya adalah sebuah teladan yang hebat.
Sama seperti kisah Ayub. Keluarga ini telah kehilangan kedua putra-putrinya.
Tanggal 30 Oktober 2010, saya mengunjungi makam Demas & Mba Nana di Salatiga.
Kami bertemu dengan keluarga ini. Walaupun masih terasa suasana duka. Tapi ada suasana yang berbeda. Ada damai sejahtera yang terpancar dari keluarga ini. 
Bahkan ketika perayaan HUT 40th GKJ Karangayu, Pak Sentot bersedia untuk hadir bernyanyi bersama kami. Yang mengejutkan lagi, Bapak dan Ibu Sentot datang membesuk Alm Pak Mardiyono ketika dirawat di Rumah Sakit.

Keluarga ini adalah sebuah teladan bagi saya.
Dalam kondisi yang tersulit sekalipun, mereka tetap mengabdikan diri untuk melayani.

Apakah saya, juga bisa seperti Mereka?


Ayah Sentot & Mama, kami sayang kalian. Kalian adalah motivasi. Kalian adalah Alkitab yang terbuka. Kalian adalah firman yang hidup.

Tuhan Yesus Memberkati

1 comment:

Angelika Riyandari (Ike) said...

blogwalking Andhini ... sharing yang luar biasa ... kadang kita tidak tahu kehendak Tuhan apa y? Dalam sedih, aku sering merasa aku orang yang paling menderita di seluruh dunia dan kehilangan kepercayaan padaNya. Aku sering lupa pada orang2 lain yang lebih kuat meskipun mungkin kesedihannya lebih dalam...